Lebak, TARGETRILIS.COM — Suasana yang biasa dipenuhi langkah pasien dan sapaan tenaga medis di sebuah ruang pelayanan kesehatan mendadak pecah oleh kabar yang mengguncang. Dua dokter yang selama ini menjadi tumpuan harapan pasien—dr. Ferry Arrochman, Sp.DVE dan drg. Greny Soewito—mendapat surat pemecatan secepat kilat. Tanpa peringatan. Tanpa dialog. Tanpa alasan.
Semuanya terjadi begitu cepat, begitu tiba-tiba, hingga terasa nyaris mustahil dipahami.
“Saya Diberhentikan Begitu Saja.”
Rabu, 11 Desember 2025, di depan kantor Disnakertrans Lebak, keduanya berdiri dengan raut letih—bukan karena lelah melayani, melainkan karena merasa dikhianati oleh prosedur yang selama ini menjadi landasan kepercayaan mereka.
dr. Ferry menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS), penghentian dokter wajib diberitahukan dua bulan sebelumnya. Masa transisi itu penting untuk memindahkan pasien, menyelesaikan rujukan, dan mencari lokasi praktik baru. Begitu pula bila dokter spesialis yang mengundurkan diri—harus memberitahu rumah sakit dua bulan sebelumnya agar manajemen punya waktu mencari pengganti.
Namun Kenyataannya Jauh dari Itu.
23 Oktober ia menerima surat.
1 November ia dinyatakan berhenti.
Padahal kontrak baru berakhir 11 November.
Tak ada dua bulan. Tak ada dua minggu. Semua berlangsung tanpa ritme yang diatur PKS.
“Semua berjalan tidak sesuai PKS. Saya menyanggah, dan direktur mengakui akan mengoreksi, bahkan mempersilakan saya tetap praktek dua bulan sesuai PKS. Tapi minggu berikutnya saya justru dilarang praktek. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan,” ujar dr. Ferry.
Lebih mengejutkan lagi, ketika ia sudah menyiapkan diri kembali bekerja pada awal November—bahkan Surat Izin Praktik sudah kembali aktif—ia tetap dihalangi memasuki polikliniknya sendiri.
“Saya melihat pasien-pasien saya menunggu. Bingung. Tapi saya tidak boleh menyentuh ruang praktik saya.”
Pasien Terlantar, Hubungan Dokter–Pasien Diputus Sepihak
Menurut Ferry, banyak pasien kontrol dan rujukan yang terapinya terhenti tiba-tiba.
“Ini bukan hanya pelanggaran PKS. Ini melanggar rasa kemanusiaan,” ucapnya.
Sementara itu, drg. Greny mengaku selama bekerja ia tidak pernah menerima evaluasi, teguran, ataupun peringatan.
“Hanya sebuah kabar yang jatuh begitu saja. Seolah seluruh pengabdian kami menguap dalam satu hari,” tuturnya lirih.
Dua Dugaan Pelanggaran Berat: PKS Dilarang, Dokumen Penting Tidak Ditandatangani
dr. Ferry juga mengungkap dugaan pelanggaran lain:
Direktur RS Misi, dr. Totot, disebut menolak menandatangani rekap jumlah pasien tahun 2020–2025—dokumen wajib untuk memperpanjang Surat Izin Praktik.
“Beliau seorang dokter. Seharusnya paham bahwa rekap itu wajib. Tapi tetap tidak ditandatangani,” tegasnya.
Tidak berhenti di situ, pihak RS disebut menyampaikan kepada pasien bahwa layanan spesialis kulit sudah tidak tersedia—padahal PKS mewajibkan masa praktik selama dua bulan setelah pemberitahuan pemberhentian.
“Ini bukan sekadar keputusan sepihak. Ini pembunuhan pengabdian secara administratif,” ujarnya.
dr. Ferry telah mengajukan permohonan perlindungan profesi dan mediasi ke IDI Kabupaten dan IDI Provinsi Banten.
Melangkah Ke Disnakertrans: Upaya Terakhir Mencari Keadilan
Dengan langkah berat namun tegap, keduanya mendatangi Disnakertrans Lebak untuk melaporkan dugaan pelanggaran PKS oleh direktur rumah sakit.
“Kami tidak menuntut hal muluk. Kami hanya ingin perjanjian dihormati. Kami ingin keadilan,” tegas mereka.
Hening Menunggu Klarifikasi.


0 Komentar